Tuesday, May 23, 2006

The World Teaches Us : Mengejar Matahari...

Ritual mengejar matahari –seperti yang dilakukan empat pemuda dalam film yang berjudul sama– ternyata bukanlah sekadar permainan. Ada sebuah renungan yang dapat muncul ketika matahari (yang sebenarnya tak mampu dikejar) semakin didekati dan didekati. Bayangan! Bayangan adalah kunci dari pemikiran ini.

September, 2002

Tiba-tiba saja saya duduk di masa dua tahun yang lalu. Pemandangan yang muncul dari balik kaca kereta membawa saya pulang dari kota (yang entah mengapa) saya cintai, Jogja. Meski indah, hamparan sawah yang sesekali diselingi bukit dan perumahan yang tak tertata rapi itu tidak mengundang saya untuk tersenyum. Saya larut… larut dalam sebuah hidangan kekecewaan dan penyesalan yang mendalam. Selalu terpikir: mengapa harus melakukan ini, bukan yang itu?!

Namun Tuhan menunjukkan ke-Mahabaik-anNya. Ia menunjukkan jalan ke seberang bukit di ujung samudera yang mahatenang. Garis langit yang naik turun dan kemilau matahari membuat saya tertegun beberapa kali. Hingga suatu saat, seorang lelaki dengan gayanya yang tenang berujar lembut, “Tak ada waktu untuk memikirkan masa lalu. Siapkan dirimu untuk esok hari.

Agustus, 2004

Saya kembali. Matahari itu masih seperti yang dulu. Menyilaukan mata saat lapar melanda di siang hari, namun terlalu indah untuk dilewatkan ketika ia harus berpamitan kepada senja. Dan ketika berpaling ke arahnya, bayangan di belakang tubuh itu semakin memanjang, dan kemudian hilang diterpa malam.

Selalu ada simbol dari sebuah makna kehidupan. Dulu, matahari hanya sebuah simbol pencerahan dan malam muncul sebagai musuh yang mengerikan. Kini, matahari sanggup memberi arti lain dalam hidup, bahwa dia berdiri atas nama masa depan. Bayangan adalah kunci pemikiran ini. Ketika menghadap matahari (baca: masa depan), bayangan menjelma sebagai masa lalu yang mengerikan. Gelap dan selalu menguntit ke mana pun sang pemilik badan beranjak.

Masa lalu memang selalu membayangi hidup siapa pun. Menjadi wajar, ketika menganggapnya sebagai sebuah pengalaman hidup dan pembelajaran untuk masa depan. Namun menjadi pahit ketika seseorang tak mampu melepas diri dari bayang-bayang masa lalunya sendiri. Mari berpikir sejenak! Ketika mengejar matahari, bayangan itu semakin memendek, namun selalu mengikuti kita. Namun saat berdiam diri, bayangan itu akan selalu memanjang, memudar, lalu tenggelam bersama matahari –entah ke mana.

Berpikir jinak ke masa yang telah lalu adalah sebuah keharusan. Dengan begitu, setiap langkah tidak akan kehilangan makna dan tujuannya. Masa lalu adalah sahabat. Dia adalah sahabat untuk kembali merenung dan mengintrospeksi diri. Jangan biarkan ia menghilang…. Karena di sana ada nostalgia yang tak akan rela dilepas begitu saja.

Karena di sana ada pengharapan yang membawa kita terus menuju masa depan.

Maka berpikir bijaklah. Mengapa ada kaca spion di mobil? Untuk memastikan keadaan di belakang agar kita mampu memastikan arah kita ke depan. Belok kanan, kiri, atau terus melaju. Tapi sadarkah kita bahwa kaca spion itu selalu lebih kecil dari kaca di depan setir mobil kita? Begitulah masa lalu! Dia diciptakan agar kita selalu menggamitnya dalam setiap langkah kita, agar kita mampu belajar dari setiap napas yang pernah berhembus.

Namun masa lalu tetaplah masa lalu. Porsi untuk mengingatnya tak akan lebih besar dari persiapan kita menuju masa depan.

Maka tatap! Tataplah masa depan dengan pengaharapan masa lalu. Dan ritual mengejar matahari akan semakin menyenangkan, ketika matahari semakin dekat, dan bayangan selalu menguntit, namun tak akan pernah melampaui tinggi badan kita. Biarkan… biarkan bayangan itu berdansa. Agar keceriaan tak pernah memudar oleh waktu yang semakin menyempit.

waktu yang kumiliki tersangkut di masa lalu

menjinaklah ia dalam renungan seutas kawat pengorbanan

meski sakit, meski pahit

ia berdansa, meliuk-liuk di sela hujaman granat.

Tak lama…. Ia kembali

membawa rintik harapan yang terpasung masa depan,

lalu tersenyum. Manis.

No comments: